Gerah!
Iya, gue gerah. Selain karena akhir-akhir ini cuaca lagi panas-panasnya, gue juga gerah dengan kondisi Indonesia. Kalian pasti tahu semua hal yang diperbincangkan akhir-akhir ini adalah isu politik, SARA, penistaan, dan sebangsanya. Seakan itu belum cukup bikin gerah, kemarin Jakarta diguncang bom untuk kesekian kalinya.
Kali ini gue benar-benar gerah.
Gue nggak akan mempermasalahkan kelompok, golongan, atau agama apapun disini. Kita semua adalah korban. Kalau dulu aksi terorisme "hanya" di tempat ibadah dan di waktu tertentu, sekarang udah beda. Tentu gue masih ingat bagaimana setiap ibadah malam natal atau tahun baru, gue bertanya-tanya apakah gue akan mati kena bom malam itu. Ternyata berbeda. Sekarang orang ngebom di tempat umum: terminal. Tempat berbagai suku, agama, dan golongan bisa bercampur. Kampung Melayu yang dulu gue takuti karena tukang angkotnya serem, semalam dibom.
Can we all just live in peace and harmony?
Sebagai perbandingan yang berimbang, gue pun harus mengoreksi diri gue sendiri. Gue seringkali hanya gerah, kemudian numpang "ngadem" dibalik topeng alasan agar tidak memperkeruh suasana. Berpikir bahwa orang-orang yang sering menggunakan isu SARA memang sulit diubah dan pasrah saja dengan keadaan itu. Berpikir bahwa gue minoritas dan tidak akan terdengar suaranya. Berpikir bahwa teman-teman gue yang berbeda latar belakang iman dengan gue mungkin akan berpikiran hal yang buruk juga tentang gue dan iman gue.
Padahal perspektif gue keliru.
Untuk menggarami pembusukan dunia, gue harusnya lebih sering menyuarakan bahasa kasih yang universal untuk semua orang. Gue harusnya bisa mengedukasi lewat tulisan, kata-kata, atau bahkan tindakan bahwa kita semua hidup di dunia ini dengan perbedaan, namun harus dewasa menyikapinya. Gue harusnya tidak memerangi mereka yang keras dan meneriaki "bunuh-bunuh!" sambil konvoi, tetapi terus menerus mendoakan mereka agar Tuhan ubahkan hati mereka.
Tetapi gue mungkin lebih suka kegerahan saja, dan tidak berusaha menciptakan kesejukan.
(Jakarta, 25 Mei 2017. Tengah hari yang panas)
Kali ini gue benar-benar gerah.
Gue nggak akan mempermasalahkan kelompok, golongan, atau agama apapun disini. Kita semua adalah korban. Kalau dulu aksi terorisme "hanya" di tempat ibadah dan di waktu tertentu, sekarang udah beda. Tentu gue masih ingat bagaimana setiap ibadah malam natal atau tahun baru, gue bertanya-tanya apakah gue akan mati kena bom malam itu. Ternyata berbeda. Sekarang orang ngebom di tempat umum: terminal. Tempat berbagai suku, agama, dan golongan bisa bercampur. Kampung Melayu yang dulu gue takuti karena tukang angkotnya serem, semalam dibom.
Can we all just live in peace and harmony?
Sebagai perbandingan yang berimbang, gue pun harus mengoreksi diri gue sendiri. Gue seringkali hanya gerah, kemudian numpang "ngadem" dibalik topeng alasan agar tidak memperkeruh suasana. Berpikir bahwa orang-orang yang sering menggunakan isu SARA memang sulit diubah dan pasrah saja dengan keadaan itu. Berpikir bahwa gue minoritas dan tidak akan terdengar suaranya. Berpikir bahwa teman-teman gue yang berbeda latar belakang iman dengan gue mungkin akan berpikiran hal yang buruk juga tentang gue dan iman gue.
Padahal perspektif gue keliru.
Untuk menggarami pembusukan dunia, gue harusnya lebih sering menyuarakan bahasa kasih yang universal untuk semua orang. Gue harusnya bisa mengedukasi lewat tulisan, kata-kata, atau bahkan tindakan bahwa kita semua hidup di dunia ini dengan perbedaan, namun harus dewasa menyikapinya. Gue harusnya tidak memerangi mereka yang keras dan meneriaki "bunuh-bunuh!" sambil konvoi, tetapi terus menerus mendoakan mereka agar Tuhan ubahkan hati mereka.
Tetapi gue mungkin lebih suka kegerahan saja, dan tidak berusaha menciptakan kesejukan.
(Jakarta, 25 Mei 2017. Tengah hari yang panas)
Comments
Post a Comment