Dia dan dia
Tulisan kali ini agak panjang dan bermuatan curhatan pribadi. Sebenarnya hanya ingin berbagi pengalaman, bukan maunya pamer. Kisah ini adalah tentang Allah yang menuliskan kisah indah yang tidak terduga dalam kehidupan gue. Kisah cinta yang klise, bahkan gak spesial menurut orang-orang. Tapi menurut gue, ini kisah yang ajaib. Detail kejadian di dalamnya sama sekali gak gue sangka-sangka. Kisah ini dimulai dengan sesuatu yang menurut anggapan manusia adalah ketidaksengajaan.
--
Februari 2016
Bulan Februari 2016, tepatnya tanggal 11-14 Februari, gue ikut sebuah retret yang namanya agak-agak berat. Retret Koordinator. Retret apa pula ini? Sekedar informasi, ini retret buat Tim Inti Persekutuan Mahasiswa Kristen--or whatsoever kalian nyebutnya apa-- yang diadakan oleh Perkantas. Oke, informasi tambahannya cukup dulu ya. Disini gue sebagai peserta (penilik) sekaligus pemimpin kelompok PA.
Di momen-momen retret seperti ini, seringkali ada ekspektasi-ekspektasi momen perjumpaan dengan pasangan hidup. Gak bisa munafik memang, kapan lagi akan berjumpa dengan pria dewasa rohani kalau bukan di acara-acara sejenis ini. Walaupun memang kita harus berhati-hati, supaya gak salah fokus.
Okay, tapi sebenernya waktu itu gue gak ada pemikiran buat mencari (atau menemukan) pasangan hidup. Realistis aja lah. Udah (hampir) empat tahun mengenal persekutuan, gue belum menemukan orang yang tepat. Bukan mengecilkan kuasa Tuhan juga sih. Tapi lebih ke arah "ya udahlah, kalo dapet syukur, kalo enggak juga gapapa", pikir gue dalam hati.
Menjalani dua hari pertama retret dengan biasa saja, di hari ketiga muncullah kejadian tidak biasa. Tiba-tiba di tengah sesi eksposisi pagi gue kebelet pipis. Kebeletnya sih biasa aja. Yang terjadi setelah kebeletnya baru yang luar biasa.
Setelah membuka pintu dan keluar, gue menemukan sesosok pria yang lama tak ku dengar suaranya apalagi rupanya (tsah!). Bang Hendy. Hm, udah jarang juga ngelihat pria ini. Dia lagi ngobrol sama temen gue, Paulus. Gue sebenernya agak bingung mau nyapa dia atau enggak. Ada dua alasan sih sebenernya. Pertama, karena gue kebelet pipis. Kedua, karena gue gak yakin dia ngelihat gue atau enggak.
Akhirnya gue menyapanya.
"Hai, Bang!"
"Hai, Teng."
Entah kenapa sapaan itu jadi kebawa-bawa di pikiran pas gue lagi di kamar mandi. Pikiran gue saat itu cuma: "Bang Hendy lumayan juga nih. Dia lagi sama siapa ya, sekarang?". Udah sih itu aja. Gue sebenernya gak kepikiran juga buat kenal lebih lanjut. Sebenernya sih kenal, tapi hanya sebatas say hello dan gak pernah ngobrol seru atau gimana. Entah ada angin apa, gue merasa harus mendoakan dia saat itu. Mendoakan seperti apa spesifiknya? Jujur gue gak tau. Tiba-tiba gue ingin mendoakan dia dan kenal lebih lanjut dengannya. Tapi aneh banget masa tiba-tiba gue ngedoain dia?
Kemudian tibalah di hari Minggu, saat dia memimpin pujian di sesi Ibadah Minggu. Tidak, tidak. Gue harus fokus. Gue gak boleh salah fokus dan tidak dengan sungguh datang ke Tuhan. Akhirnya sepanjang pujian gue lebih banyak merem atau lihat ke slide lagu aja. Gue nyaris ga berani ngelihat wajahnya karena takut salah fokus. Gue beberapa kali sempat melihat dia sepanjang retret tersebut, tapi gue nggak berani ngajakin dia ngobrol.
Sepulang dari RK, gue merenung di kamar kosan. Apa harus gue mendoakan Bang Hendy? Kok terasa aneh? Tapi kok gue gelisah ingin mendoakan... Yaudah daripada bolak-balik galau, gue akhirnya mendoakan dia. Lagipula kenapa gue harus merasa malu mengutarakan isi hati ke Tuhan? Jadilah gue berdoa begini malam itu, kira-kira:
"Tuhan, aku gak tau harus ngedoain orang ini atau enggak. Tapi kok aku ngerasa harus ngedoain dia. Tuhan tolong kasih kesempatan aku untuk mengenal dia, karena mungkin aku nggak akan pernah bisa punya kesempatan ketemu dia."
Beberapa hari gue mendoakan dia seperti itu. Sampai akhirnya gue merasa makin penasaran sama dia. Mau ngechat, malu. Gak ngechat, penasaran. Akhirnya gue curhat deh sama Yoan. Sebenernya sih tujuan gue bercerita cuma minta dukungan doa dan semangat aja. Gue gak mungkin bisa jatuh cinta sama orang yang gak pernah gue temuin? Dan udah jelas sebenarnya bahwa peluang gue ketemu dengan dia kecil. Dia alumni, gue mahasiswa (saat itu). Dia MIPA, gue Teknik. Udah jelas lah nggak bakal ketemu irisannya.
Patah hati? Nggak sih kayaknya. Orang ga pernah ketemu juga. Pokoknya saat itu gue berada dalam fase yang aneh.
Seminggu setelah gue mulai mendoakan dia, gue pergi makan dengan Yoan dan Sam di Samcil. Gue pun menceritakan isi hati gue saat itu. Sam, orang paling realistis, pun ngasih saran cemerlang.
"Lu hubungi aja lah, Ter. Sepik-sepik nanya KNM gitu."
Wah! Brilian banget idenya. Dia memang sempet ngehubungin gue sebelum RK untuk ikutan KNM. Beruntungnya, gue belom di-follow up sama dia. Oke! Ini kesempatan emas untuk nge-Line dia.
Gue pun nge-Line. Dan gak dibales.
Besok siangnya, gue ngecek HP. Ada balasan! Gue seseneng itu sampe loncat-loncat sendiri. Serius. Untung lagi di kosan sendirian. Ternyata dia gak ngebales karena dia emang jarang buka Line. Untunglah. Gue pikir dia emang gak mau ngebales Line dari gue karena gak penting. Kemudian Line kami pun berlanjut...
Gue akuin, kalo dilihat dari chat-chatnya, di awal gue emang berusaha banget nyari topik. Puji Tuhan, dia masih mau menanggapi chat-chat gue. Gue gak tau awalnya dari mana, sampai akhirnya kami janjian buat makan bareng. WOW!
Gue sempat berpikir itu hanya ilusi dan wacana. Gue kan gak terlalu kenal sama dia. Ngapain juga dia harus capek-capek ngajakin gue makan bareng? Gue hanya berdoa saat itu, supaya dalam kehendak Tuhan saja semuanya jadi. Kalaupun rencana itu gagal, semua ada dalam kendalinya Tuhan.
Maret 2016
Komunikasi kami sebenernya gak lancar-lancar banget. Gue rasa dia pun udah lupa dengan janji makan kami. Kami janjian ketemu tanggal 19 Maret. Dan menjelang tanggal 19, dia nggak ngehubungin gue atau ngebahas apapun soal rencana kami. Gue pun pada akhirnya udah ihklas kalau misalnya rencana kami berakhir wacana, seperti ekspektasi gue di awal.
Eh tak disangka, tak dinyana, dia menghubungi gue Sabtu siang, tanggal 19 Maret 2016. Akhirnya! Kami pun akhirnya berjanji ketemu setelah gue selesai KTB, di Kokas. Well, sore itu dia datang agak terlambat karena harus ke Pintu Air terlebih dahulu. Sejujurnya ketika menunggu dia datang terlambat, gue udah berpikir untuk membatalkan janji itu. Gue takut ketemu dia, takut gak bisa ngomong apa-apa. Takut kalau gue ga sesuai dengan kriteria dia. Di tengah kegalauan....
Dia datang. Oh tidak. Irama jantung gue udah nggak karuan. Gue mau menghilang aja rasanya.
Untungnya perjalanan kami berlangsung lancar. Pembicaraan kami berlangsung sangat mengalir dan natural. Bersyukur juga, Tuhan memberikan keterbukaan diantara kami untuk saling berbicara tentang masa lalu dan masa depan kami.
Gue sangat bersyukur Tuhan memberikan kesempatan untuk gue mengenal dia. Bukan hanya sekali, melainkan dua kali. Ya, dua kali. Setelah jalan-jalan di Kokas, dia ngajakin gue buat jalan-jalan ke Bogor.
April 2016
Walaupun komunikasi kami tetap tidak intens, gue dikasih kesempatan untuk sekali lagi bertemu dia di Bogor. Perasaan yang semakin tumbuh, membuat gue sejujurnya sangat menanti-nantikan momen ini. Sekaligus sebenarnya gue cukup takut karena tidak ada kejelasan diantara kami. Yang gue dengar dari sahabatnya, Bang Reinhard, Bang Hendy tidak akan memilih pasangan hidup dari Suku Batak. Well, it broke my heart.
Gue gak berharap banyak dari hasil ketemuan ini sebenarnya. Gue hanya berharap ada kejelasan, dan kalaupun sampai tidak ada kejelasan lebih baik gue yang bertanya duluan. Agresif? Mungkin, tapi gue hanya gak pengen berlama-lama tertahan pada satu orang. Malam sebelum gue bertemu dia, satu doa gue adalah supaya dia memperjelas semuanya esok. Kalau tidak, mungkin gue yang harus bertanya, dan gue sangat tidak ingin menjadi pihak yang bertanya duluan.
Kebun Raya Bogor siang itu luar biasa panas, tapi adem juga sih kalau lihat dia. He he. Setelah ngobrol sana-sini dan diakhiri dengan makan, ia pun melontarkan pernyataan yang melegakan gue. Ya, dia mengutarakan maksud dan tujuannya untuk mengenal gue lebih dalam lagi.
Wow. Speechless. Gue bahkan nggak bisa menjawab pertanyaannya. Gue mengambil waktu untuk bisa berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, saat itu juga. Tuhan menjawab doa gue dengan indah. Ia yang mempertemukan kami dalam saat-saat yang tak terduga, mendekatkan kami yang nyaris tidak ada kesempatan untuk bertemu, bahkan menggerakkan hati kami di dalam kasih.
Ternyata ini bukan perasaan gue saja. Gue sangat percaya tidak ada satupun di dunia ini yang bisa menggerakkan perasaan manusia kecuali Allah sendiri. Lantas? Gue dan dia pun memutuskan untuk tidak langsung bergumul dan mendoakan untuk ke tingkat lebih lanjut. Kami memutuskan untuk berelasi sahabat dahulu.
Juni 2016
Persahabatan kami berlangsung sangat baik. Kami semakin saling mengenal. Jujur, kehadiran dia sangat gue syukuri terutama dalam pembuatan skripsi. Dia yang tidak pernah absen menanyakan kabar dan relasi gue dengan Tuhan, memastikan semuanya berjalan baik. Bukan, bukan karena dia gue dekat dengan Tuhan. Tetapi dia adaah rekan seperjalanan yang baik.
Pada akhirnya, kami memulai pergumulan kami berdua pada tanggal 12 Juni 2016. Banyak hal yang menjadi pertimbangan gue dalam bergumul. Salah satunya adalah ketakutan gue untuk membina relasi yang baru. Tiga tahun sendiri dan sempat dikecewakan membuat gue terkadang lebih nyaman sendiri.
Lagipula gue mempunyai masalah berhala relasi. Gue seringkali terjebak dalam kesukaan gue membangun relasi dengan seseorang, sampai akhirnya gue lebih mengasihi relasi gue daripada mengasihi Tuhan. Padahal sumber sukacita manusia yang sejati adalah dari Allah, Sang Pencipta.
Masa Pergumulan 3 Bulan
Masa-masa ini adalah masa yang aneh, lucu, menyenangkan, sekaligus penuh pengujian. Seringkali banyak pertanyaan terlontar dari otak gue. What if bla bla bla bla... Gue tidak akan menceritakan setiap detailnya disini. Tapi gue setidaknya belajar 3 hal selama bergumul:
Okay, tapi sebenernya waktu itu gue gak ada pemikiran buat mencari (atau menemukan) pasangan hidup. Realistis aja lah. Udah (hampir) empat tahun mengenal persekutuan, gue belum menemukan orang yang tepat. Bukan mengecilkan kuasa Tuhan juga sih. Tapi lebih ke arah "ya udahlah, kalo dapet syukur, kalo enggak juga gapapa", pikir gue dalam hati.
Menjalani dua hari pertama retret dengan biasa saja, di hari ketiga muncullah kejadian tidak biasa. Tiba-tiba di tengah sesi eksposisi pagi gue kebelet pipis. Kebeletnya sih biasa aja. Yang terjadi setelah kebeletnya baru yang luar biasa.
Setelah membuka pintu dan keluar, gue menemukan sesosok pria yang lama tak ku dengar suaranya apalagi rupanya (tsah!). Bang Hendy. Hm, udah jarang juga ngelihat pria ini. Dia lagi ngobrol sama temen gue, Paulus. Gue sebenernya agak bingung mau nyapa dia atau enggak. Ada dua alasan sih sebenernya. Pertama, karena gue kebelet pipis. Kedua, karena gue gak yakin dia ngelihat gue atau enggak.
Akhirnya gue menyapanya.
"Hai, Bang!"
"Hai, Teng."
Entah kenapa sapaan itu jadi kebawa-bawa di pikiran pas gue lagi di kamar mandi. Pikiran gue saat itu cuma: "Bang Hendy lumayan juga nih. Dia lagi sama siapa ya, sekarang?". Udah sih itu aja. Gue sebenernya gak kepikiran juga buat kenal lebih lanjut. Sebenernya sih kenal, tapi hanya sebatas say hello dan gak pernah ngobrol seru atau gimana. Entah ada angin apa, gue merasa harus mendoakan dia saat itu. Mendoakan seperti apa spesifiknya? Jujur gue gak tau. Tiba-tiba gue ingin mendoakan dia dan kenal lebih lanjut dengannya. Tapi aneh banget masa tiba-tiba gue ngedoain dia?
Kemudian tibalah di hari Minggu, saat dia memimpin pujian di sesi Ibadah Minggu. Tidak, tidak. Gue harus fokus. Gue gak boleh salah fokus dan tidak dengan sungguh datang ke Tuhan. Akhirnya sepanjang pujian gue lebih banyak merem atau lihat ke slide lagu aja. Gue nyaris ga berani ngelihat wajahnya karena takut salah fokus. Gue beberapa kali sempat melihat dia sepanjang retret tersebut, tapi gue nggak berani ngajakin dia ngobrol.
Sepulang dari RK, gue merenung di kamar kosan. Apa harus gue mendoakan Bang Hendy? Kok terasa aneh? Tapi kok gue gelisah ingin mendoakan... Yaudah daripada bolak-balik galau, gue akhirnya mendoakan dia. Lagipula kenapa gue harus merasa malu mengutarakan isi hati ke Tuhan? Jadilah gue berdoa begini malam itu, kira-kira:
"Tuhan, aku gak tau harus ngedoain orang ini atau enggak. Tapi kok aku ngerasa harus ngedoain dia. Tuhan tolong kasih kesempatan aku untuk mengenal dia, karena mungkin aku nggak akan pernah bisa punya kesempatan ketemu dia."
Beberapa hari gue mendoakan dia seperti itu. Sampai akhirnya gue merasa makin penasaran sama dia. Mau ngechat, malu. Gak ngechat, penasaran. Akhirnya gue curhat deh sama Yoan. Sebenernya sih tujuan gue bercerita cuma minta dukungan doa dan semangat aja. Gue gak mungkin bisa jatuh cinta sama orang yang gak pernah gue temuin? Dan udah jelas sebenarnya bahwa peluang gue ketemu dengan dia kecil. Dia alumni, gue mahasiswa (saat itu). Dia MIPA, gue Teknik. Udah jelas lah nggak bakal ketemu irisannya.
Patah hati? Nggak sih kayaknya. Orang ga pernah ketemu juga. Pokoknya saat itu gue berada dalam fase yang aneh.
Seminggu setelah gue mulai mendoakan dia, gue pergi makan dengan Yoan dan Sam di Samcil. Gue pun menceritakan isi hati gue saat itu. Sam, orang paling realistis, pun ngasih saran cemerlang.
"Lu hubungi aja lah, Ter. Sepik-sepik nanya KNM gitu."
Wah! Brilian banget idenya. Dia memang sempet ngehubungin gue sebelum RK untuk ikutan KNM. Beruntungnya, gue belom di-follow up sama dia. Oke! Ini kesempatan emas untuk nge-Line dia.
Gue pun nge-Line. Dan gak dibales.
Besok siangnya, gue ngecek HP. Ada balasan! Gue seseneng itu sampe loncat-loncat sendiri. Serius. Untung lagi di kosan sendirian. Ternyata dia gak ngebales karena dia emang jarang buka Line. Untunglah. Gue pikir dia emang gak mau ngebales Line dari gue karena gak penting. Kemudian Line kami pun berlanjut...
Gue akuin, kalo dilihat dari chat-chatnya, di awal gue emang berusaha banget nyari topik. Puji Tuhan, dia masih mau menanggapi chat-chat gue. Gue gak tau awalnya dari mana, sampai akhirnya kami janjian buat makan bareng. WOW!
Gue sempat berpikir itu hanya ilusi dan wacana. Gue kan gak terlalu kenal sama dia. Ngapain juga dia harus capek-capek ngajakin gue makan bareng? Gue hanya berdoa saat itu, supaya dalam kehendak Tuhan saja semuanya jadi. Kalaupun rencana itu gagal, semua ada dalam kendalinya Tuhan.
Maret 2016
Komunikasi kami sebenernya gak lancar-lancar banget. Gue rasa dia pun udah lupa dengan janji makan kami. Kami janjian ketemu tanggal 19 Maret. Dan menjelang tanggal 19, dia nggak ngehubungin gue atau ngebahas apapun soal rencana kami. Gue pun pada akhirnya udah ihklas kalau misalnya rencana kami berakhir wacana, seperti ekspektasi gue di awal.
Eh tak disangka, tak dinyana, dia menghubungi gue Sabtu siang, tanggal 19 Maret 2016. Akhirnya! Kami pun akhirnya berjanji ketemu setelah gue selesai KTB, di Kokas. Well, sore itu dia datang agak terlambat karena harus ke Pintu Air terlebih dahulu. Sejujurnya ketika menunggu dia datang terlambat, gue udah berpikir untuk membatalkan janji itu. Gue takut ketemu dia, takut gak bisa ngomong apa-apa. Takut kalau gue ga sesuai dengan kriteria dia. Di tengah kegalauan....
Dia datang. Oh tidak. Irama jantung gue udah nggak karuan. Gue mau menghilang aja rasanya.
Untungnya perjalanan kami berlangsung lancar. Pembicaraan kami berlangsung sangat mengalir dan natural. Bersyukur juga, Tuhan memberikan keterbukaan diantara kami untuk saling berbicara tentang masa lalu dan masa depan kami.
Gue sangat bersyukur Tuhan memberikan kesempatan untuk gue mengenal dia. Bukan hanya sekali, melainkan dua kali. Ya, dua kali. Setelah jalan-jalan di Kokas, dia ngajakin gue buat jalan-jalan ke Bogor.
April 2016
Walaupun komunikasi kami tetap tidak intens, gue dikasih kesempatan untuk sekali lagi bertemu dia di Bogor. Perasaan yang semakin tumbuh, membuat gue sejujurnya sangat menanti-nantikan momen ini. Sekaligus sebenarnya gue cukup takut karena tidak ada kejelasan diantara kami. Yang gue dengar dari sahabatnya, Bang Reinhard, Bang Hendy tidak akan memilih pasangan hidup dari Suku Batak. Well, it broke my heart.
Gue gak berharap banyak dari hasil ketemuan ini sebenarnya. Gue hanya berharap ada kejelasan, dan kalaupun sampai tidak ada kejelasan lebih baik gue yang bertanya duluan. Agresif? Mungkin, tapi gue hanya gak pengen berlama-lama tertahan pada satu orang. Malam sebelum gue bertemu dia, satu doa gue adalah supaya dia memperjelas semuanya esok. Kalau tidak, mungkin gue yang harus bertanya, dan gue sangat tidak ingin menjadi pihak yang bertanya duluan.
Kebun Raya Bogor siang itu luar biasa panas, tapi adem juga sih kalau lihat dia. He he. Setelah ngobrol sana-sini dan diakhiri dengan makan, ia pun melontarkan pernyataan yang melegakan gue. Ya, dia mengutarakan maksud dan tujuannya untuk mengenal gue lebih dalam lagi.
Wow. Speechless. Gue bahkan nggak bisa menjawab pertanyaannya. Gue mengambil waktu untuk bisa berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, saat itu juga. Tuhan menjawab doa gue dengan indah. Ia yang mempertemukan kami dalam saat-saat yang tak terduga, mendekatkan kami yang nyaris tidak ada kesempatan untuk bertemu, bahkan menggerakkan hati kami di dalam kasih.
Ternyata ini bukan perasaan gue saja. Gue sangat percaya tidak ada satupun di dunia ini yang bisa menggerakkan perasaan manusia kecuali Allah sendiri. Lantas? Gue dan dia pun memutuskan untuk tidak langsung bergumul dan mendoakan untuk ke tingkat lebih lanjut. Kami memutuskan untuk berelasi sahabat dahulu.
Juni 2016
Persahabatan kami berlangsung sangat baik. Kami semakin saling mengenal. Jujur, kehadiran dia sangat gue syukuri terutama dalam pembuatan skripsi. Dia yang tidak pernah absen menanyakan kabar dan relasi gue dengan Tuhan, memastikan semuanya berjalan baik. Bukan, bukan karena dia gue dekat dengan Tuhan. Tetapi dia adaah rekan seperjalanan yang baik.
Pada akhirnya, kami memulai pergumulan kami berdua pada tanggal 12 Juni 2016. Banyak hal yang menjadi pertimbangan gue dalam bergumul. Salah satunya adalah ketakutan gue untuk membina relasi yang baru. Tiga tahun sendiri dan sempat dikecewakan membuat gue terkadang lebih nyaman sendiri.
Lagipula gue mempunyai masalah berhala relasi. Gue seringkali terjebak dalam kesukaan gue membangun relasi dengan seseorang, sampai akhirnya gue lebih mengasihi relasi gue daripada mengasihi Tuhan. Padahal sumber sukacita manusia yang sejati adalah dari Allah, Sang Pencipta.
Masa Pergumulan 3 Bulan
Masa-masa ini adalah masa yang aneh, lucu, menyenangkan, sekaligus penuh pengujian. Seringkali banyak pertanyaan terlontar dari otak gue. What if bla bla bla bla... Gue tidak akan menceritakan setiap detailnya disini. Tapi gue setidaknya belajar 3 hal selama bergumul:
- Manusia hanya akan bisa dipuaskan di dalam Allah. Ketika bergumul, gue membaca buku Conterfeit Gods karangan Timothy Keller. Buku ini menceritakan tentang bagaimana berhala-berhala modern bisa mengancam manusia. Jalan keluarnya? Ada pada Kristus. Buku ini 'gila' banget sih menampar gue. Gue semakin disadarkan untuk sepenuhnya melekat kepada Tuhan.
- Mengasihi secara tepat. Mengasihi Allah adalah yang utama, dan keberadaan pasanganmu bukanlah untuk menggantikan posisi Allah. Gue belajar untuk mengasihinya secara tepat. Mengasihi secara tepat juga berarti siap untuk terluka, menangis, dan mengampuni. Dimana gue belajar ini semua? Lihat kepada salib Kristus.
- Christ centered. Ini rangkuman kesemuanya sih. Intinya: jangan mengandalkan diri sendiri. Udah itu aja.
17 September 2016
Perjalanan baru dimulai. Nobody says it is easy. Yes, indeed. Ini adalah tahapan yang lebih sulit daripada sebelumnya. Tapi janji penyertaan Tuhan selalu kami ingat. Oh iya, gue juga mau memberitahu hal ini: setiap orang punya kisah perjalanannya masing-masing. Bukan berarti ketika kisah cinta gue begini, dan tindakan yang gue lakukan begitu, akan sama hasilnya pada tiap orang.Tiap orang memiliki kisahnya masing-masing. Yang perlu kita lakukan adalah Trust and Obey.
Shalom kak. Terberkati sekali sm tulisannya. Ga nyamgka bs sampai di blog ini. Ketrrbukaan n jujur sekali, itu yg memberkatiku. Hehe. Aku jg peserta KNM 2016, kk dr daerah mana?
ReplyDeleteHalo winda. Salam kenal ;) aku dari Jakarta. Puji Tuhan, kalau kamu terberkati
Delete