Perenungan Jumat Agung

Walaupun sudah terlambat tiga hari, gue harap belum terlambat untuk menuliskan ini. Ide menulis perenungan ini didapat ketika ibadah Jumat Agung di gereja gue. Ada satu hal yang Tuhan bukakan untuk gue pahami di Jumat Agung kali ini, dan gue bersyukur atas hal itu.

Jumat Agung bagi secara pribadi adalah peristiwa mistis. Sebab, bagaimana mungkin Allah yang Mahabesar itu mau menanggung dosa manusia? Kalau bukan karena kasih karunia, itu adalah hal yang sangat nggak bisa diterima dan terjangkau dengan akal manusia. Tetapi di satu sisi yang lain, kematian Kristus adalah peristiwa emosional paling melelahkan. Di dalamnya bersatu kesedihan sekaligus murka pribadi Allah. Ia yang adalah Tritunggal, harus terpaksa terpisah. Sekali lagi walaupun sulit diterima oleh akal manusia, ini tetap menyedihkan. Sang Anak terpisah dengan Sang Bapa, demi agar kita layak di hadapan Sang Bapa. Perumpamaannya adalah seperti kita harus terpisah dengan orang yang paling kita kasihi dalam hidup kita (walaupun perumpamaan ini juga tidak berimbang, karena tidak ada yang bisa menyamai relasi Bapa dan Kristus).

Keterpisahan. Disini gue menggarisbawahinya. Di kayu saliblah Yesus terpisah dengan Bapa karena Ia menanggung murka Bapa atas dunia. Murka yang sebenarnya bukan karena kesalahanNya, melainkan kesalahan kita. Meskipun pada akhirnya relasi Tritunggal itu terpulihkan, momen ketika Yesus menanggung murka Allah adalah momen yang sangat memilukan. Langit bahkan bersedih dan gelap.

Kalau direfleksikan pada diri sendiri, gue akhirnya menyadari bahwa keterpisahan dari Allah adalah akibat paling menyedihkan, menyakitkan, dan memilukan dari dosa. Dosa membuat kita terpisah dari Allah. Namun justru Allah sendirilah yang berinisiatif menyelamatkan kita. Kita menganggap masuk neraka, tidak mendapat berkat, tidak mendapat mahkota kemuliaan adalah akibat dosa yang paling menyakitkan. Namun kenyataannya tidak. Keterpisahan ciptaan dari Sang Pencipta, itulah yang paling, paling menyakitkan. Kita mati. Kehilangan semua esensi.

Ketika gue membagikan hal ini kepada kakak gue, dia menjawabnya dengan pertanyaan yang menegurku. "Tapi nggak semua orang yang mengaku kristen sudah merasakan relasi sesungguhnya dengan Allah. Jadi dia nggak tahu gimana rasanya kehilangan relasi tersebut", ujarnya. Ada benarnya juga. Kita dapat bersedih kehilangan relasi kalau kita sudah sungguh merasakan indahnya relasi tersebut. Namun inilah anugerah Allah. Sesuatu yang tidak, atau belum bisa dipahami oleh manusia, somehow bisa kita terima dengan segala keterbatasan kita.

Betapa sering gue jatuh bangun dalam berelasi dengan Allah. Memang itulah dinamika relasi, namun satu hal yang sama adalah ketika gue menjauh dari Allah disitulah kekeringan rohani yang tidak bisa dipuaskan oleh apapun. Tidak oleh semua yang dunia tawarkan. Sekali lagu, gue sangat-sangat-dan sangat bersyukur atas semua kebaikan Allah dalam hidup gue, terlebih: Ia menebusku dan menyebutku sebagai anakNya.

Comments

Popular posts from this blog

Nehemia 4: Belajar Menghadapi Tantangan

Mengawali Cerita Kuliner: Soto Seger Hj. Fatimah Boyolali

Sharing Ringkasan Buku: Gods at War (Bab 3)