Posts

Showing posts from 2019

Masih Banyak yang Belum Disampaikan

Seminggu sebelum tulisan ini dibuat, gue mendapat kabar bahwa Tua (nenek dalam Bahasa Simalungun) meninggal. Sudah tiga hari beliau dirawat di rumah sakit, nyatanya memang tubuh rentanya sudah tidak bisa bertahan. Beliau menghembuskan napas terakhir di usia 92 tahun. Nyokap pun meminta gue untuk ikut pulang kampung dan menghadiri pemakamannya. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya gue gak pulang kampung. Ada banyak sebab yang membuat gue memang jarang pulang kampung. Ketika akhirnya gue pulang, justru karena ada kabar duka. Perasaan gue campur aduk sebenarnya. Di satu sisi, gue memang tidak terlalu mengenal dan dekat dengan sosok Tua. Tetapi ga bisa dipungkiri bahwa memang ada ikatan emosional sehingga akhirnya gue bisa merasakan sebuah perasaan aneh. Bukan perasaan sedih, melainkan perasaan kosong dan hampa. Gue gak bisa mengekspresikan bagaimana sebenarnya perasaan gue saat itu. Ditambah lagi, gue juga tahu bahwa pemakaman Tua pastilah juga berarti kesempatan berziarah ke makam ...

Jatuh Cinta Itu (Harusnya) Biasa Saja

Setelah beberapa kali (ehm) jatuh cinta, saya jadi menyadari bahwa ada beberapa kebiasaan yang muncul ketika jatuh cinta. Padahal, mungkin hal tersebut tidak ada ketika saya tidak sedang jatuh cinta. Tetapi sebelum membahas itu, marilah terlebih dahulu membahas jatuh cinta. Jatuh cinta, seperti halnya perasaan lain dalam hidup, memang muncul beberapa kali. Mengapa jatuh cinta beberapa kali terdengar lebih aneh? Padahal kita semua pernah membenci, kesal, kagum, marah, atau takut berkali-kali pada orang yang berbeda. Jatuh cintapun demikian. Setiap orang memiliki kebiasaan masing-masing ketika jatuh cinta. Saya? Saya menyadari bahwa ketika jatuh cinta, saya cenderung lebih posesif. Lucunya, saya padahal belum memiliki (atau dimiliki) oleh orang tersebut. Lantas saya posesif terhadap apa? Saya menjadi detektif yang selalu ingin tahu kegiatannya. Saya menjadi tukang ramal yang seolah paling tahu apa yang ia rasakan. Saya menjadi si dermawan yang selalu memaksa ingin membantu ketika i...

Menikmati Inner Peace

Pekan lalu, gue mengikuti sebuah retret yang berjudul Alone With God. Kedengarannya memang agak tidak biasa, mengapa perlu sendiri bersama Tuhan? Tetapi justru retret inilah yang kita butuhkan. Melalui retret ini, kita bisa banyak merenungkan Firman Tuhan dan berdoa karena porsi retret ini memang lebih banyak dikhususkan untuk momen perenungan. Gue sendiri ikut retret ini karena gue merasa bahwa akhir-akhir ini gue kurang menikmati relasi gue dengan Tuhan. Saat teduh terasa terburu-buru, doa terasa kering dan tidak terjawab. Gue juga kurang bersemangat dalam bekerja. Selain itu, gue mudah khawatir, ragu, bahkan takut dalam menjalani kehidupan. Sehingga ketika gue melihat pemberitahuan tentang adanya retret itu, gue langsung tertarik. Singkat cerita, setelah mengikuti retret, gue kembali disegarkan jiwa dan fisiknya. Gue belajar bahwa inner peace -- sesuatu yang saat ini tengah digembar-gemborkan dunia-- hanyalah dapat diperoleh melalui relasi yang lekat kepada Allah. Inner peac...

Sambat Terus!

Sebagai manusia, pastilah kita senang mengeluh. Sambat, atau dalam Bahasa Indonesia: mengeluh, sudah menjadi suatu kebiasaan. Pagi hari saat berangkat beraktivitas lalu bertemu macet? Sambat! Siang hari diberi tugas oleh atasan dengan deadline  mepet? Sambat! Malam hari batal nge- date  sama gebetan? Sambat meneh!!1!!1 Lantaran akhir-akhir ini sambat menjadi populer, saya merenungkan kembali apakah sebenarnya mengeluh menjadi sesuatu yang overrated akhir-akhir ini? Pendapat masyarakat mengenai keluhan menjadi terlalu terbelah: melarang atau mendukung sambat. Bagi orang-orang yang melarang keluhan, mereka berdalih bahwa mengeluh hanya akan mengurangi rasa bersyukur. Bahwa seharusnya manusia itu banyak bersyukur, tidak melihat segala sesuatu dari sisi yang merugikan, serta senantiasa melihat bahwa keadaannya jauh lebih baik dari kebanyakan orang lain. Bagi orang-orang yang mendukung keluhan, mereka berdalih bahwa dengan mengeluh segala emosi jadi tersalurkan. Lagipula meng...

Membandingkan Kesedihan

Siang ini, setelah menerima kabar dari seorang teman kalau ayahnya baru saja meninggal, gue memutuskan untuk ikut melayat bersama teman-teman. Jadilah sore itu gue sepulang kantor membelah kemacetan Tomang yang amit-amit. Momen kedukaan seringkali membuka momen kedukaan lain yang pernah dialami. Kali ini teman gue yang pergi melayat bareng bercerita tentang bagaimana ia menghadapi kesedihan saat ayahnya meninggal beberapa tahun lalu. Menurutnya, saat paling sedih adalah ketika ayahnya sudah dikubur dan orang-orang telah selesai melayat, kemudian kembali pada suasana rumah yang sepi ditinggal sang ayah. Teman gue ini baru merasa kesedihan yang sangat. Lalu gue terdiam. Lama banget sampe Tomang ga macet lagi. Gak deng. Tomangnya masih macet. Ayah gue meninggal ketika gue berumur 5 tahun, dan nyaris gue ga pernah ingat apapun mengenai beliau. Saat beliau meninggal, gue masih belum paham apa artinya kematian. Gue baru paham mengenai kesedihan ditinggal ayah ketika gue beran...