Sambat Terus!
Sebagai manusia, pastilah kita senang mengeluh. Sambat, atau dalam Bahasa Indonesia: mengeluh, sudah menjadi suatu kebiasaan. Pagi hari saat berangkat beraktivitas lalu bertemu macet? Sambat! Siang hari diberi tugas oleh atasan dengan deadline mepet? Sambat! Malam hari batal nge-date sama gebetan? Sambat meneh!!1!!1
Lantaran akhir-akhir ini sambat menjadi populer, saya merenungkan kembali apakah sebenarnya mengeluh menjadi sesuatu yang overrated akhir-akhir ini? Pendapat masyarakat mengenai keluhan menjadi terlalu terbelah: melarang atau mendukung sambat.
Bagi orang-orang yang melarang keluhan, mereka berdalih bahwa mengeluh hanya akan mengurangi rasa bersyukur. Bahwa seharusnya manusia itu banyak bersyukur, tidak melihat segala sesuatu dari sisi yang merugikan, serta senantiasa melihat bahwa keadaannya jauh lebih baik dari kebanyakan orang lain.
Bagi orang-orang yang mendukung keluhan, mereka berdalih bahwa dengan mengeluh segala emosi jadi tersalurkan. Lagipula mengeluhpun tidak merugikan orang lain, bukan?
Lantas saya ada pada golongan yang mana?
Saya akui bahwa saya ada termasuk orang yang senang sambat alias mengeluh. Saya mengeluh pada hampir setiap keadaan sial yang saya alami. Tampaknya mengeluh adalah mekanisme saya untuk mulai menghadapi keadaan yang kurang menguntungkan. Setelah mengeluh, saya jadi punya energi baru.
Namun saya menyadari bahwa terlalu banyak mengeluhpun tidak baik. Bukankah mengeluh tidak menyelesaikan masalah?
Kemudian saya menemukan sebuah pandangan yang semakin luas, hasil dari membaca sebuah artikel. Disebutkan dalam Alkitab bahwa Ayub menyampaikan keluhan ketika menghadapi masa-masa berat dalam hidupnya. Begitupun dengan kisah nabi-nabi pada zaman kerajaan Israel dan Yehuda. Wajarlah kalau kitapun mengeluh.
Saya belajar memahami bahwa perasaan kecewa, marah, dan keluhan itu ada dan tidak dapat dipungkiri manusia. Setiap perasaan diciptakan bukan untuk disangkal, melainkan dipahami. Sama seperti kesedihan yang tidak boleh dipendam, keluhan yang tak tersampaikan hanya akan menjadi akar kepahitan.
Keluhan mengajarkan saya untuk merefleksikan diri. Keadaan yang saya alami seringkali adalah bagian dari variabel yang tidak dapat saya kontrol ataupun konsekuensi dari ketidakmampuan saya untuk mengerjakannya dengan sempurna. Setelah mengeluh, saya jadi sadar bahwa saya ini makhluk tidak berdaya. Mengandalkan Tuhan adalah satu-satunya jalan.
Menipu diri dengan berpura-pura tidak mengeluh menurut saya adalah jalan yang merugikan. Mengeluh saja sedikit (atau banyak), namun jangan kepada khalayak ramai. Mengeluhlah pada diri sendiri, atau pada alam, atau dalam doamu, atau pada sahabatmu. Satu kali lalu sudah! Kemudian belajar menerima dan menghadapi masalahmu.
Lantaran akhir-akhir ini sambat menjadi populer, saya merenungkan kembali apakah sebenarnya mengeluh menjadi sesuatu yang overrated akhir-akhir ini? Pendapat masyarakat mengenai keluhan menjadi terlalu terbelah: melarang atau mendukung sambat.
Bagi orang-orang yang melarang keluhan, mereka berdalih bahwa mengeluh hanya akan mengurangi rasa bersyukur. Bahwa seharusnya manusia itu banyak bersyukur, tidak melihat segala sesuatu dari sisi yang merugikan, serta senantiasa melihat bahwa keadaannya jauh lebih baik dari kebanyakan orang lain.
Bagi orang-orang yang mendukung keluhan, mereka berdalih bahwa dengan mengeluh segala emosi jadi tersalurkan. Lagipula mengeluhpun tidak merugikan orang lain, bukan?
Lantas saya ada pada golongan yang mana?
Saya akui bahwa saya ada termasuk orang yang senang sambat alias mengeluh. Saya mengeluh pada hampir setiap keadaan sial yang saya alami. Tampaknya mengeluh adalah mekanisme saya untuk mulai menghadapi keadaan yang kurang menguntungkan. Setelah mengeluh, saya jadi punya energi baru.
Namun saya menyadari bahwa terlalu banyak mengeluhpun tidak baik. Bukankah mengeluh tidak menyelesaikan masalah?
Kemudian saya menemukan sebuah pandangan yang semakin luas, hasil dari membaca sebuah artikel. Disebutkan dalam Alkitab bahwa Ayub menyampaikan keluhan ketika menghadapi masa-masa berat dalam hidupnya. Begitupun dengan kisah nabi-nabi pada zaman kerajaan Israel dan Yehuda. Wajarlah kalau kitapun mengeluh.
Saya belajar memahami bahwa perasaan kecewa, marah, dan keluhan itu ada dan tidak dapat dipungkiri manusia. Setiap perasaan diciptakan bukan untuk disangkal, melainkan dipahami. Sama seperti kesedihan yang tidak boleh dipendam, keluhan yang tak tersampaikan hanya akan menjadi akar kepahitan.
Keluhan mengajarkan saya untuk merefleksikan diri. Keadaan yang saya alami seringkali adalah bagian dari variabel yang tidak dapat saya kontrol ataupun konsekuensi dari ketidakmampuan saya untuk mengerjakannya dengan sempurna. Setelah mengeluh, saya jadi sadar bahwa saya ini makhluk tidak berdaya. Mengandalkan Tuhan adalah satu-satunya jalan.
Menipu diri dengan berpura-pura tidak mengeluh menurut saya adalah jalan yang merugikan. Mengeluh saja sedikit (atau banyak), namun jangan kepada khalayak ramai. Mengeluhlah pada diri sendiri, atau pada alam, atau dalam doamu, atau pada sahabatmu. Satu kali lalu sudah! Kemudian belajar menerima dan menghadapi masalahmu.
judi sabung ayam
ReplyDeleteSaya akui bahwa saya ada termasuk orang yang senang sambat alias mengeluh. Saya mengeluh pada hampir setiap keadaan sial yang saya alami.