Masih Banyak yang Belum Disampaikan

Seminggu sebelum tulisan ini dibuat, gue mendapat kabar bahwa Tua (nenek dalam Bahasa Simalungun) meninggal. Sudah tiga hari beliau dirawat di rumah sakit, nyatanya memang tubuh rentanya sudah tidak bisa bertahan. Beliau menghembuskan napas terakhir di usia 92 tahun.

Nyokap pun meminta gue untuk ikut pulang kampung dan menghadiri pemakamannya. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya gue gak pulang kampung. Ada banyak sebab yang membuat gue memang jarang pulang kampung. Ketika akhirnya gue pulang, justru karena ada kabar duka.

Perasaan gue campur aduk sebenarnya. Di satu sisi, gue memang tidak terlalu mengenal dan dekat dengan sosok Tua. Tetapi ga bisa dipungkiri bahwa memang ada ikatan emosional sehingga akhirnya gue bisa merasakan sebuah perasaan aneh. Bukan perasaan sedih, melainkan perasaan kosong dan hampa. Gue gak bisa mengekspresikan bagaimana sebenarnya perasaan gue saat itu.

Ditambah lagi, gue juga tahu bahwa pemakaman Tua pastilah juga berarti kesempatan berziarah ke makam Papa. Ada perasaan senang karena akhirnya bisa berziarah. Namun ada perasaan ragu, apakah gue sudah benar-benar merelakan kehilangannya?

Semua pertanyaan akhirnya terjawab ketika gue tiba di makam. Gue yang merasa kuat dan yakin bahwa tidak akan menangis, akhirnya tumpah juga airmatanya ketika tiba di makam Papa. Gue sadar bahwa mungkin memang gue belum sekuat itu. Sekaligus sadar bahwa proses berduka itu panjang. Kita memang tidak akan pernah benar-benar merelakan kehilangan orang yang kita sayang. Yang dapat kita lakukan hanyalah berproses. Ketika kita mengingat lagi rasa kehilangan itu, maka ada rasa sedih yang datang. Namun setelahnya, kita dapat dengan lebih lega untuk menjalani hidup.

Bukankah itu semua proses? Berusaha bangkit, kadang jatuh lagi, tetapi tetap bangkit. Proses merelakan adalah kembali bangkit dan menjadikan kehilangan itu sebagai emosi yang dapat kita terima secara ikhlas.

Setelah hari itu, gue tidak berusaha sok kuat. Benar, gue sedih karena ada banyak hal dan peristiwa yang tidak bisa gue sampaikan kepada Papa. Tetapi gue menerima emosi itu dan tidak berusaha menihilkannya. Setelahnya, gue merasa menjadi manusia yang lebih utuh dan menerima emosi secara wajar.

Bagaimana gue dengan Tua?

Penyesalan pasti ada. Gue ingat-ingat ternyata memang tidak ada kenangan gue bersama almarhumah yang sangat berkesan. Seandainya gue bisa lebih banyak mempunyai waktu dengannya, seperti nenek dengan cucu. Tetapi gue bersyukur, gue mendengar banyak cerita baik tentang beliau. Setidaknya, sekarang gue tahu ada banyak orang yang menyayanginya.

Pulang kampung kali ini bukan tentang melepas rindu. Pulang kampung kali ini adalah proses merelakan, walau masih banyak yang belum tersampaikan.

Comments

Popular posts from this blog

Nehemia 4: Belajar Menghadapi Tantangan

Mengawali Cerita Kuliner: Soto Seger Hj. Fatimah Boyolali

Sharing Ringkasan Buku: Gods at War (Bab 3)