Membandingkan Kesedihan

Siang ini, setelah menerima kabar dari seorang teman kalau ayahnya baru saja meninggal, gue memutuskan untuk ikut melayat bersama teman-teman. Jadilah sore itu gue sepulang kantor membelah kemacetan Tomang yang amit-amit.

Momen kedukaan seringkali membuka momen kedukaan lain yang pernah dialami. Kali ini teman gue yang pergi melayat bareng bercerita tentang bagaimana ia menghadapi kesedihan saat ayahnya meninggal beberapa tahun lalu. Menurutnya, saat paling sedih adalah ketika ayahnya sudah dikubur dan orang-orang telah selesai melayat, kemudian kembali pada suasana rumah yang sepi ditinggal sang ayah. Teman gue ini baru merasa kesedihan yang sangat.

Lalu gue terdiam.

Lama banget sampe Tomang ga macet lagi. Gak deng. Tomangnya masih macet.

Ayah gue meninggal ketika gue berumur 5 tahun, dan nyaris gue ga pernah ingat apapun mengenai beliau. Saat beliau meninggal, gue masih belum paham apa artinya kematian. Gue baru paham mengenai kesedihan ditinggal ayah ketika gue beranjak remaja. Kalau boleh bilang sih, hidup gue mengenai kehilangan ayah jauh lebih menyedihkan daripada kisah temen gue.

Eh. Ada yang salah.

Gue sadar ada yang salah dari diri gue. Gue cenderung mengasihani diri gue sendiri dan menganggap bahwa orang lain ga lebih sedih dari gue. Padahal jelas, setiap orang punya masalah dan kapasitasnya masing-masing. Gue dikasih kapasitas lebih untuk "menampung" nasib yang lebih malang menurut ukuran gue. Namun, apakah itu berarti bahwa gue layak untuk tidak berempati atas apa yang dirasakan oleh teman gue?

Gue menjadi orang yang tidak mendengarkan. Gue hanya asyik mendengar hanya demi mendapat legitimasi pribadi bahwa "gue lebih layak untuk bersedih" dan "gue jauh lebih kuat dari lo" daripada berusaha memahami masalah orang lain.

Selesai dari melayat, gue jadi berpikir ulang mengenai hal ini. Gue sadar bahwa tidak ada yang dapat membenarkan pemikiran jahat gue. Memang seringkali lebih mudah untuk kita menghakimi bahwa masalah orang lain ga lebih berat dari masalah kita.

Indikasi yang sering terjadi:
Ada teman bercerita..
Kita membalas dengan "eh masih mending lo. dulu gue pernah blablabla...." 
Ujung-ujungnya kita yang lebih banyak cerita daripada si teman yang awalnya bercerita.

Manusia yang telah kehilangan sensitivitasnya untuk berempati sebaiknya menghentikan kebiasaan ini. Hal ini tentu membuat lawan bicara merasa terhakimi dan lebih stres. Dalam kasus gue, (untungnya) tidak sampai tercetus hal itu. Namun bagaimana kalau lain kali gue khilaf?

Malam setiba gue di rumah setelah melayat, gue harus menuliskan hal ini. Bahwa ini harus jadi pengingat: gue tidak berhak membandingkan kesedihan gue dengan orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Nehemia 4: Belajar Menghadapi Tantangan

Mengawali Cerita Kuliner: Soto Seger Hj. Fatimah Boyolali

Sharing Ringkasan Buku: Gods at War (Bab 3)