Ngobrolin Hak Cipta di Hari Musik Nasional
Selamat Hari Musik Nasional!
Postingan kali ini ditulis tepat pada tanggal 9 Maret, bertepatan dengan Hari Musik Nasional. Tadi gue sempat googling mengenai sejarah hari musik. Ternyata 9 Maret adalah hari kelahirannya W.R. Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya. Di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal tersebut dijadikan sebagai Hari Musik Nasional melalui Keppres nomor 10 tahun 2012 (sumber: di sini).
Ketika tadi di perjalanan pulang, gue sempet kepikiran untuk mengerjakan konten baru di blog. Syukur kalau nanti bisa konsisten, walau gue tahu juga kalau selalu berakhir wacana.
sumber: https://chirpstory.com/li/384380 |
Konten yang akan gue bawa ini seputar ulasan mengenai kekayaan intelektual. Seharusnya sih gue mulai dengan pengertian kekayaan intelektual, ya. Namun berhubung dalam suasana Hari Musik Nasional, gue memutuskan untuk memulai konten ini seputar hak cipta.
Ngomongin hari musik, pasti kita udah tahu banget kalau di Indonesia masih marak barang bajakan. Walaupun platform musik original gratis udah ada di ponsel masing-masing, musik bajakan masih aja dijual. Gak sebanyak DVD bajakan, memang. Namun di konter-konter HP, pasar malam, dan pinggiran kota, masih banyak bisa kita jumpai abang penjual kaset musik bajakan.
"Yang asli mahal."
"Ah, si artis kan udah kaya. Banyak endorse sana-sini. Gak beli album asli juga gapapa lah."
Dua alasan di atas yang paling sering gue denger ketika bertanya kepada orang-orang mengapa beli barang bajakan. Believe me, gue juga dulu beranggapan demikian sebelum bertugas di Kemenkumham mengenal apa itu hak cipta.
Menurut UU nomor 28 tahun 2014, Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul
secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah
suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sebenarnya secara sederhana, kita udah sering dengar mengenai hak cipta, kan. Intinya, karya tersebut sudah ada yang punya. Jadi kalau kita mau menikmati karya tersebut, harus dengan cara-cara yang diizinkan oleh sang pencipta.
Gue ingin mengajak kita semua untuk bisa sama-sama menghargai karya orang lain. Gak usah ngomongin hukuman pidana, deh. Sesederhana menghargai susah payahnya si pencipta, deh. Iya, si artis barangkali udah kaya. Namun apakah itu menjadi pembenaran? Seperti layaknya, apakah kita diperbolehkan merampok rumah orang kaya, hanya karena kekayaannya tidak akan berkurang?
Di satu sisi, ada banyak lagu yang ternyata "mirip" nadanya atau bahkan persis sama sekali nadanya dengan lagu yang telah ada sebelumnya. Nah, untuk masalah ini, gue gak bisa banyak berkomentar karena kebijakannya (sepertinya) tidak diatur secara jelas di UU yang berlaku di Indonesia. Correct me if I'm wrong, ya! Gue lebih melihat kasus ini (dalam kaca mata awam) sebagai pelanggaran moral.
Gue berharap kita semua mulai mengurangi konsumsi barang bajakan. Gue saat ini berlangganan Spotify Premium. Lebih hemat karena bisa mendengarkan beribu musik sampai telinga lo budeg. Beruntung banget kita sekarang hidup di era digital. Selain Spotify, ada beberapa platform lain yang menawarkan musik legal, baik versi gratis maupun berbayar.
Buat klean-klean sobat pencipta musik, keep up the good work! Percayalah bahwa masih ada masyarakat yang mengapresiasi karya kalian dengan membeli versi asli. Be original, karena kamu pun pasti ingin diapresiasi, sebagaimana kamu harus mengapresiasi orang dengan tidak menjiplak karyanya.
Maju terus insan musik Indonesia!
Comments
Post a Comment