Sharing Hasil PA: Putting Our Trust In God

Berhubung udah rada lama ga posting dan bingung juga mau nulis apa, akhirnya gue memilih menulis tentang pengalaman gue PA bareng dengan panitia HUT Perkantas. Sebulanan lalu gue ditawarin sebuah pelayanan sebagai panitia HUT Perkantas. Well, singkat cerita gue ditempatkan sebagai orang yang terakhir bergabung di kepanitiaan itu. Ternyata di kepanitiaan, ada kesepakatan untuk ber-PA bareng setelah rapat rutin kami. Realisasinya sih emang nggak terwujud secara paripurna. Seinget gue cuma ada 3 kali rapat yang diakhiri/diawali dengan PA. Mungkin karena durasi rapat yang lumayan lama, jadi demi efektivitas waktu lebih banyak ke sharing firman oleh satu orang aja.

Walaupun cuma sedikit PA-nya, tapi gue benar-benar tersentuh sama ini bahan PA. Buku PA-nya berjudul The Beautitudes: Developing Spiritual Character karangan John Stott. Kayak gini gambarnya...


Sayangnya gue hanya punya versi fotokopinya. Maafkan kalau melanggar copyrights ya :( tapi sih rada susah nyari versi asli dalam tempo waktu cepat untuk semua panitia. Buku ini membahas tentang Ucapan Bahagia Yesus saat Khotbah di Bukit. Ada 8 bab yang membahas masing-masing 8 ucapan bahagia. 

Yang akan gue bahas lebih lanjut adalah bab 1 mengenai ucapan yang pertama. Diberi judul Putting Our Trust in God, sesuai dengan ucapan pertama: "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." (Matius 5:3)

Kemiskinan emang diidentikkan dengan sesuatu yang nggak baik. Kalau miskin dan kelaparan, kita buru-buru menyimpulkan bahwa kita nggak sukses. Tapi setelah pernah mengalami masa-masa nggak punya duit dan gengsi minta ke orang tua, barulah gue paham bahwa miskin (re: ga punya uang) bikin kita sangat bergantung pada Sang Pemberi. 

Kalau dilihat dari konteks pada saat itu, orang banyak mulai mengikuti Yesus (ayat 1&2) karena terpana dengan mujizat yang Yesus lakukan. Yesus yang mulai terkenal pada saat itu malah memulai khotbah yang gak kontradiksi dengan pemahaman orang masa itu (atau bahkan masa kini juga). 

Siapakah yang miskin di hadapan Tuhan? 

Merekalah orang-orang yang dengan sungguh sadar mereka membutuhkan Tuhan dan tidak memiliki perlindungan lain selain Allah itu sendiri. Hanya orang-orang yang miskin di hadapan Allah yang sanggup menyadari ketidakberdayaannya, sebaliknya menyadari kebesaran Allah. Implikasinya, orang-orang inilah yang dengan rendah hati mengakui keberdosaan dan ketidakmampuannya di hadapan Allah, serta terus menerus mengandalkan Allah. 

Buku ini mengkontraskan dengan keadaan jemaat di Laodikia dalam Wahyu 3:17-22. Pada saat itu, jemaat Laodikia ini tergolong kaya secara materi. Namun kitab Wahyu mencatat bahwa mereka justru ditegur karena mereka tidak lagi mengandalkan Allah. Kalau di kehidupan sehari-hari sekarang, pertanyaan refleksinya adalah: hal-hal apa yang membuat kita merasa mampu melakukan segalanya, sampai tidak lagi mengandalkan Allah? Merasa miskin di hadapan Allah yang Mahakaya itu susah ternyata. Kita sering merasa sok kaya, sok mampu, padahal sih gak ada apa-apanya. Gue pun gitu. Lebih banyak sombongnya. 

Buku ini menuliskan kalimat ringkasan yang bagus.
"The indispensable condition of receiving the Kingdom of God is to acknowledge our spiritual poverty. To the poor in spirit, and only to the poor in spirit, the kingdom of God is given. For God's rule which brings salvation is a gift as absolutely free as it is utterly undeserved."

Sekian dulu sharing dari gue. Semoga bisa diaplikasikan oleh kita semua!

Comments

Popular posts from this blog

Nehemia 4: Belajar Menghadapi Tantangan

Mengawali Cerita Kuliner: Soto Seger Hj. Fatimah Boyolali

Sharing Ringkasan Buku: Gods at War (Bab 3)