Nyinyiran Saudara-saudari
Masih dalam rangka suasana Idul Fitri, kali ini gue ingin berbagi pemikiran acak a.k.a random thought gue tentang hal yang sering terjadi ketika silaturahmi bersama keluarga. Sering muncul di akun media sosial komedi (misalnya Dagelan, 1Cak, dsb.) topik keluhan mengenai anggota keluarga jauh yang kepo tentang kehidupan kita. Contohnya: nanya kuliah dimana, kalo udah lulus mau kerja dimana, gajinya berapa, udah punya pacar belom, sampe nanyain kenapa belom nikah-nikah.
Sejujurnya walaupun gue nggak merayakan Idul Fitri, pertanyaan yang sama sering terlontar kepada gue ketika kumpul-kumpul keluarga. Sebagai orang Indonesia, apapun sukunya, pasti om-tante, pakde-bude, tulang-nantulang kita sering kepo dengan kehidupan kita. Sebenarnya gue yakin, maksud dan tujuan saudara kita itu baik adanya. Mereka ingin memastikan bahwa kita sedang menjalankan hidup yang benar, nggak pake narkoba, dan menjadi insan yang berguna bagi nusa dan bangsa. Masalahnya adalah cara mereka menanyakan dan memberi tanggapa seringkali (tanpa sadar) menyakiti hati kita (atau minimal bikin kita rada kesel).
Contoh yang sering gue temui, baik diri sendiri maupun orang lain:
Om : Kau kerja dimana sekarang?
Gue : Oh, saya lagi cari kerja, Om. Abis resign.
Om : Kenapa kau resign padahal belom dapet kerja yang baru? Kau kan tau blablabla....
Gue : (baru ketemu hari ini setelah bertahun-tahun and you can judge my decision, huh?)
atau juga...
Tante : Udah ada pacarmu?
Sepupu : (senyum-senyum). Udah, tapi orang ****** (nyebutin suku lain pulau)
Tante : Jangan kau sama suku ******* ya. Pokoknya harus sama yang satu suku blablabla....
Sepupu : (hanya bisa tersenyum kecut sambil ngangguk-ngangguk)
Gitu, guys.
Sekali lagi gue tahu banget maksud mereka itu baik adanya. Tapi mbok ya, sebagai orang yang lebih tua, berusahalah untuk suportif dalam keputusan keponakan/adik/cucumu. Apalagi si om/tante ini juga jarang komunikasi sama kita. Jadi sebagai sodara yang gak begitu dekat secara personal hati ke hati, coba tolong posisikan diri sebagai pihak luar yang memberi komentar yang membangun. Minimal kalau mau komentar pedes, coba cari tahu dulu cerita dibalik keputusan-keputusan yang diambil.
Menulis ini membuat gue agak terbawa emosi, ya.
Pengalaman dikomentari pedas oleh saudara-saudara membuat gue bertekad suatu hari nanti kalau gue udah jadi tante/inang-inang gue akan jadi tante yang suportif. Tante yang gak nge-judge keputusan keponakan-keponakan sebelum tahu latar belakang pengambilan keputusannya. Tante yang gak akan rese kalo ponakannya lebih milih ngejar pendidikan daripada menikah cepat-cepat. Tante yang gak rasis sama pasangan keponakannya selama si pasangan takut akan Tuhan. Tante yang mencoba mengenal ponakannya secara pribadi dan berusaha menjadi sahabat yang mendengarkan.
Semoga kita dihindarkan dari nyinyiran saudara-saudari kita.
Sejujurnya walaupun gue nggak merayakan Idul Fitri, pertanyaan yang sama sering terlontar kepada gue ketika kumpul-kumpul keluarga. Sebagai orang Indonesia, apapun sukunya, pasti om-tante, pakde-bude, tulang-nantulang kita sering kepo dengan kehidupan kita. Sebenarnya gue yakin, maksud dan tujuan saudara kita itu baik adanya. Mereka ingin memastikan bahwa kita sedang menjalankan hidup yang benar, nggak pake narkoba, dan menjadi insan yang berguna bagi nusa dan bangsa. Masalahnya adalah cara mereka menanyakan dan memberi tanggapa seringkali (tanpa sadar) menyakiti hati kita (atau minimal bikin kita rada kesel).
Contoh yang sering gue temui, baik diri sendiri maupun orang lain:
Om : Kau kerja dimana sekarang?
Gue : Oh, saya lagi cari kerja, Om. Abis resign.
Om : Kenapa kau resign padahal belom dapet kerja yang baru? Kau kan tau blablabla....
Gue : (baru ketemu hari ini setelah bertahun-tahun and you can judge my decision, huh?)
atau juga...
Tante : Udah ada pacarmu?
Sepupu : (senyum-senyum). Udah, tapi orang ****** (nyebutin suku lain pulau)
Tante : Jangan kau sama suku ******* ya. Pokoknya harus sama yang satu suku blablabla....
Sepupu : (hanya bisa tersenyum kecut sambil ngangguk-ngangguk)
Gitu, guys.
Sekali lagi gue tahu banget maksud mereka itu baik adanya. Tapi mbok ya, sebagai orang yang lebih tua, berusahalah untuk suportif dalam keputusan keponakan/adik/cucumu. Apalagi si om/tante ini juga jarang komunikasi sama kita. Jadi sebagai sodara yang gak begitu dekat secara personal hati ke hati, coba tolong posisikan diri sebagai pihak luar yang memberi komentar yang membangun. Minimal kalau mau komentar pedes, coba cari tahu dulu cerita dibalik keputusan-keputusan yang diambil.
Menulis ini membuat gue agak terbawa emosi, ya.
Pengalaman dikomentari pedas oleh saudara-saudara membuat gue bertekad suatu hari nanti kalau gue udah jadi tante/inang-inang gue akan jadi tante yang suportif. Tante yang gak nge-judge keputusan keponakan-keponakan sebelum tahu latar belakang pengambilan keputusannya. Tante yang gak akan rese kalo ponakannya lebih milih ngejar pendidikan daripada menikah cepat-cepat. Tante yang gak rasis sama pasangan keponakannya selama si pasangan takut akan Tuhan. Tante yang mencoba mengenal ponakannya secara pribadi dan berusaha menjadi sahabat yang mendengarkan.
Semoga kita dihindarkan dari nyinyiran saudara-saudari kita.
Comments
Post a Comment