Rumah Dua Setengah Bulan
Gue mengawali cerita ini dengan tidak membuat alasan mengapa sudah lama tidak menulis. Tidak ada alasan khusus sebenarnya. Hari ini ketika gue menulis lagi, idenya sebenarnya sudah muncul sejak satu bulan lalu. Gue hanya baru menuliskannya sekarang.
Cerita ini berawal ketika gue selesai wisuda. Salah satu ketakutan terbesar gue saat itu adalah: gak dapet pekerjaan. Jadilah saat itu gue berdoa supaya gue cepat mendapat pekerjaan yang sesuai dengan panggilan hidup. Walaupun gue juga belum tau sih panggilan hidup gue apaan.
Tiba-tiba hari itu gue mendapat whatsapp dari seorang teman lama. Entah apa yang kita perbincangkan awalnya, tiba-tiba gue ditawarin untuk kerja di Rumah Lembang. FYI, di bulan Agustus, ga banyak yang tau apa itu Rumah Lembang. Gue pun gak tau. Gue pikir Rumah Lembang itu adanya di Lembang, sejenis tempat wisata. Ternyata, eh ternyata, Rumah Lembang itu rumah pemenangannya Ahok.
Mau jadi apa gue? Ngerti politik aja kaga.
Hal pertama yang gue pikirkan: apa yang bisa dikerjakan lulusan elektro di dunia tim sukses? Kedua: apakah memang Tuhan menghendaki gue bekerja disini? Tapi kesempatan juga gak datang dua kali kan ya? Kapan lagi gue nyobain nyemplung di dunia non-elektro? Yah setelah berdoa dan berpikir-pikir, gue mengambil keputusan untuk bergabung di Rumah Lembang selama 1 bulan. Satu bulan gue rasa cukup untuk mencari pengalaman. Setelah itu gue akan mencari pekerjaan di bidang elektro.
Di jaman itu (berasa udah lama), Rumah Lembang masih sepi, masih berberes-beres dan mempersiapkan banyak hal. Gue ditugaskan sebagai tim kesekretariatan di luar susunan tim sukses. Jadi jangan tanyakan ke gue soal strategi kampanye ya. Bareng dua orang temen lagi di kesekretariatan, I must say: pekerjaan gue sangat menyenangkan.
Pekerjaan yang menyenangkan dan beban kerja yang gak terlalu berat harusnya jadi alasan gue bisa betah lama disana. Nyatanya gue masih mencari pekerjaan tetap. Gue masih percaya bahwa gue harus mencari dengan sungguh panggilan itu. Beberapa perusahaan gue apply tapi nggak ada satu pun respon yang gue dapat.
Target awal gue yang tadinya hanya sebulan di Lembang pun sepertinya mundur. Ketika gue mengajukan resign, atasan gue meminta supaya gue tetap di Lembang. Gue galau sih pada saat itu. Jujur, kerjaan di Lembang udah enak banget. Tapi di satu sisi, gue ga bisa lama-lama di sini. Gue memang harus bekerja di bidang yang gue geluti di perkuliahan. Lagipula terlalu lama di Lembang membuat gue ga leluasa apply pekerjaan yang lain, kalau ada test atau interview gue jadi sering izin ga masuk.
Gue pun akhirnya tetap di Lembang walopun tetep galau. Puji Tuhan, gue diberikan kelonggaran untuk izin kalo ada interview atau tes kerja.
Di bulan November, akhirnya gue dapet pekerjaan. Gue malah jadi lebih galau. Tawaran ini datang ketika Rumah Lembang udah mulai ramai dan sibuk. Ketika gue sangat nyaman di dalamnya. Ketika gue mulai mempertanyakan apakah Tuhan memanggil gue untuk lebih mengenal dunia politik. Apakah pekerjaan yang baru itu benar panggilan gue? Atau sebenarnya gue harus tinggal lebih lama di Lembang?
Gue gak tau. Pada akhirnya gue memang mengambil langkah untuk mengambil pekerjaan baru dan keluar dari Lembang. Sebuah keputusan yang berat buat gue. Meninggalkan Rumah yang sudah mengajarkan gue banyak hal.
Sudah sebulan lebih gue meninggalkan Rumah Lembang. Sampai hari ini gue pun masih bertanya-tanya apa yang terjadi kalau gue tidak meninggalkannya? Kalau menggunakan pemikiran sendiri, gue masih sering berandai-andai gue masih di Lembang.
Apakah gue menyesal meninggalkan ini semua? Gue gak bisa menjawabnya. Rasanya campur aduk. Yang jelas, gue bersyukur pernah menjadi bagian di Rumah Lembang.
Cerita ini berawal ketika gue selesai wisuda. Salah satu ketakutan terbesar gue saat itu adalah: gak dapet pekerjaan. Jadilah saat itu gue berdoa supaya gue cepat mendapat pekerjaan yang sesuai dengan panggilan hidup. Walaupun gue juga belum tau sih panggilan hidup gue apaan.
Tiba-tiba hari itu gue mendapat whatsapp dari seorang teman lama. Entah apa yang kita perbincangkan awalnya, tiba-tiba gue ditawarin untuk kerja di Rumah Lembang. FYI, di bulan Agustus, ga banyak yang tau apa itu Rumah Lembang. Gue pun gak tau. Gue pikir Rumah Lembang itu adanya di Lembang, sejenis tempat wisata. Ternyata, eh ternyata, Rumah Lembang itu rumah pemenangannya Ahok.
Mau jadi apa gue? Ngerti politik aja kaga.
Hal pertama yang gue pikirkan: apa yang bisa dikerjakan lulusan elektro di dunia tim sukses? Kedua: apakah memang Tuhan menghendaki gue bekerja disini? Tapi kesempatan juga gak datang dua kali kan ya? Kapan lagi gue nyobain nyemplung di dunia non-elektro? Yah setelah berdoa dan berpikir-pikir, gue mengambil keputusan untuk bergabung di Rumah Lembang selama 1 bulan. Satu bulan gue rasa cukup untuk mencari pengalaman. Setelah itu gue akan mencari pekerjaan di bidang elektro.
Di jaman itu (berasa udah lama), Rumah Lembang masih sepi, masih berberes-beres dan mempersiapkan banyak hal. Gue ditugaskan sebagai tim kesekretariatan di luar susunan tim sukses. Jadi jangan tanyakan ke gue soal strategi kampanye ya. Bareng dua orang temen lagi di kesekretariatan, I must say: pekerjaan gue sangat menyenangkan.
Pekerjaan yang menyenangkan dan beban kerja yang gak terlalu berat harusnya jadi alasan gue bisa betah lama disana. Nyatanya gue masih mencari pekerjaan tetap. Gue masih percaya bahwa gue harus mencari dengan sungguh panggilan itu. Beberapa perusahaan gue apply tapi nggak ada satu pun respon yang gue dapat.
Target awal gue yang tadinya hanya sebulan di Lembang pun sepertinya mundur. Ketika gue mengajukan resign, atasan gue meminta supaya gue tetap di Lembang. Gue galau sih pada saat itu. Jujur, kerjaan di Lembang udah enak banget. Tapi di satu sisi, gue ga bisa lama-lama di sini. Gue memang harus bekerja di bidang yang gue geluti di perkuliahan. Lagipula terlalu lama di Lembang membuat gue ga leluasa apply pekerjaan yang lain, kalau ada test atau interview gue jadi sering izin ga masuk.
Gue pun akhirnya tetap di Lembang walopun tetep galau. Puji Tuhan, gue diberikan kelonggaran untuk izin kalo ada interview atau tes kerja.
Di bulan November, akhirnya gue dapet pekerjaan. Gue malah jadi lebih galau. Tawaran ini datang ketika Rumah Lembang udah mulai ramai dan sibuk. Ketika gue sangat nyaman di dalamnya. Ketika gue mulai mempertanyakan apakah Tuhan memanggil gue untuk lebih mengenal dunia politik. Apakah pekerjaan yang baru itu benar panggilan gue? Atau sebenarnya gue harus tinggal lebih lama di Lembang?
Gue gak tau. Pada akhirnya gue memang mengambil langkah untuk mengambil pekerjaan baru dan keluar dari Lembang. Sebuah keputusan yang berat buat gue. Meninggalkan Rumah yang sudah mengajarkan gue banyak hal.
Sudah sebulan lebih gue meninggalkan Rumah Lembang. Sampai hari ini gue pun masih bertanya-tanya apa yang terjadi kalau gue tidak meninggalkannya? Kalau menggunakan pemikiran sendiri, gue masih sering berandai-andai gue masih di Lembang.
Apakah gue menyesal meninggalkan ini semua? Gue gak bisa menjawabnya. Rasanya campur aduk. Yang jelas, gue bersyukur pernah menjadi bagian di Rumah Lembang.
Comments
Post a Comment