Tidak Terulang [Eps. 2: 78 Buol]
Gue selalu merasa gentar setiap kali akan memimpin PA. Walaupun udah dua tahun jadi PKK dan cukup sering memimpin PA (bukan bermaksud sombong), gue selalu grogi tiap akan memimpin. Dengan kekhawatiran yang sangat besar ini, gue tetap bersyukur. Kegentaran membuat gue tidak lebih mengandalkan diri sendiri. Sejauh ini, walaupun perasaan gentar ini (kadang) merepotkan, gue tetap menikmatinya.
Pengalaman dengan perasaan gentar ini menemui kisah barunya di KNM 2016. Entah ada angin apa, tiba-tiba panitia lokal KNM menawarkan pelayanan menjadi PPA. Gue bingung awalnya --bahkan sampai sekarang juga bingung-- kenapa peserta bisa menjadi PPA. Apalagi peserta remah-remah astor kayak gue ini. PA aja masih sering ga lengkap dan dangkal, ngapain juga jadi PPA.
Dalam anugerah Allah, setelah mendoakan pelayanan ini gue bersedia menjadi PPA. Dalam pemikiran gue nanti bakalan ada briefing dan membahas bahan bersama. Namun itu hanya menjadi angan saja, pemirsa. Setelah gue bertanya pada panitia lokal, ternyata nggak ada persiapan bahan bersama. Seketika itu juga gue lemes, pengen mundur aja dari pelayanan ini. Pelayanan yang dulu-dulu ada persiapan bersama aja gue masih gentar. Gimana yang ini... Kemudian gue membayangkan peserta dari berbagai penjuru universitas di Indonesia. Gue takut salah membagikan, takut salah sasaran, dan takut tidak bisa memimpin PA dengan baik.
Di satu sisi, harusnya gue gak boleh takut. Gue mencoba menenangkan diri dengan meyakinkan bahwa Allah akan memampukan. Bukan persiapan bahan bersama kok yang bikin gue mampu, melainkan penyertaan Allah semata. Gue mencoba mengulang-ulang perkataan itu. Meyakinkan diri bahwa gue tidak perlu gentar. Meyakinkan diri untuk terus berpegang pada pertolongan Roh Kudus.
Kemudian hari yang dinanti-nanti pun tiba. Gue pikir gue hanya akan memimpin PA satu kali aja. Ternyata, eh ternyata. Gue pun diamanahkan menjadi pemimpin kamar dan pemimpin kelompok sharing. Jengjeng. Makin gentarlah gue. Apalagi saat ngelihat ada empat kali sesi small group. Itu artinya, ditambah sesi PA, gue akan lima kali bertemu dengan rekan-rekan satu kelompok.
Mules. Pusing. Gak bisa tidur. Di malam itu, setelah tiba di Jambuluwuk, gue beneran gak bisa tidur membayangkan hari esok gue akan memimpin PA. Beruntungnya sih, sebelum tidur para pemimpin PA dikumpulkan untuk briefing bahan sebentar. Lumayan buat memantapkan persiapan pribadi. Walaupun tetap jiper, apalagi setelah melihat pemimpin PA rata-rata udah alumni yang cukup tua dan staff Perkantas. Jengjeng. Apalah adek ini yang hanya serpihan bumbu tahu bulat....
Hari yang dinanti pun tiba.
78 Buol bukan nomor patas AC jurusan terbaru. Kelompok PA gue ada di nomor 78 dengan nama Buol. Buol adalah sebuah suku di Sulawesi Tengah. Jadi uniknya kelompok PA di KNM dinamai dengan nama suku-suku di Indonesia. Pagi itu di sesi eksposisi setiap peserta diarahkan untuk duduk dengan kelompok PA nya masing-masing. Satu per satu datang dan akhirnya berkumpullah Ani, Duan, Kak Agnes, Remi, Selda, dan Ery.
Kami semua dari wilayah yang berbeda, umur yang berbeda, dan pelayanan yang berbeda. Ani dari Lombok, Duan dari Pontianak, Kak Agnes dari Toraja, Remi dari Bali tapi asli Nias, Selda dari Jakarta tapi dulu kuliah di Medan, dan Ery dari NTT.
Gentar. Lagi-lagi kata itu keluar. Setelah berkenalan, gue baru sadar mereka ini hebat-hebat sekali. Apalagi Kak Agnes yang umurnya cukup jauh dari kami. Mungkin harusnya dia yang mimpin PA. Tapi kenapa Tuhan pakai gue? Gimana kalau gue salah menyampaikan? Gimana kalau mereka gak menikmati PA? Gimana kalau mereka tidak menikmati kesehatian di kelompok?
Terlalu banyak kekhawatiran.
Pada akhirnya Tuhan menegur gue. Bukan kemampuan gue yang bisa menjamin mereka menangkap isi PA nya. Bukan kehebatan gue yang menjamin mereka akan sehati. Bukan, bukan gue. Itu hanya kasih karunia Allah. Kegentaran ini membuat gue terlalu takut dan menyepelekan kebesaran Tuhan. Sore itu sebelum memimpin PA, gue kembali berdoa. Memohon ampun atas keragu-raguan gue dan mengundang Roh Kudus untuk bekerja.
Pertemuan demi pertemuan berlangsung. Gue menikmati setiap sesinya. Ah, kasih Tuhan terlalu indah. Kami berbagi kisah dan pokok doa. Gue belajar banyak hal dari mereka. Salah satunya adalah: segala kesusahan yang gue rasakan di pelayanan mahasiswa di kampus gue mungkin gak sesulit yang mereka alami. Gue belajar untuk bersyukur bahwa Allah menyertai pelayanan mereka. Sekaligus pula gue belajar untuk setia dan militan dari mereka. Di hari terakhir setelah pengutusan, gue sempat bertemu dengan Ani. Momen mengharukan, karena gue gak tau kapan akan bertemu dengan Ani dan yang lain lagi. Tapi biarlah Allah tetap mempersatukan kami.
Episode dua berakhir di sini. Ini pelajaran berharga yang gak gue dapet dari sesi sih. Intinya gue balajar untuk selalu mengandalkan Allah, dalam apapun yang gue lakukan. To God be the glory!
Pengalaman dengan perasaan gentar ini menemui kisah barunya di KNM 2016. Entah ada angin apa, tiba-tiba panitia lokal KNM menawarkan pelayanan menjadi PPA. Gue bingung awalnya --bahkan sampai sekarang juga bingung-- kenapa peserta bisa menjadi PPA. Apalagi peserta remah-remah astor kayak gue ini. PA aja masih sering ga lengkap dan dangkal, ngapain juga jadi PPA.
Dalam anugerah Allah, setelah mendoakan pelayanan ini gue bersedia menjadi PPA. Dalam pemikiran gue nanti bakalan ada briefing dan membahas bahan bersama. Namun itu hanya menjadi angan saja, pemirsa. Setelah gue bertanya pada panitia lokal, ternyata nggak ada persiapan bahan bersama. Seketika itu juga gue lemes, pengen mundur aja dari pelayanan ini. Pelayanan yang dulu-dulu ada persiapan bersama aja gue masih gentar. Gimana yang ini... Kemudian gue membayangkan peserta dari berbagai penjuru universitas di Indonesia. Gue takut salah membagikan, takut salah sasaran, dan takut tidak bisa memimpin PA dengan baik.
Di satu sisi, harusnya gue gak boleh takut. Gue mencoba menenangkan diri dengan meyakinkan bahwa Allah akan memampukan. Bukan persiapan bahan bersama kok yang bikin gue mampu, melainkan penyertaan Allah semata. Gue mencoba mengulang-ulang perkataan itu. Meyakinkan diri bahwa gue tidak perlu gentar. Meyakinkan diri untuk terus berpegang pada pertolongan Roh Kudus.
Kemudian hari yang dinanti-nanti pun tiba. Gue pikir gue hanya akan memimpin PA satu kali aja. Ternyata, eh ternyata. Gue pun diamanahkan menjadi pemimpin kamar dan pemimpin kelompok sharing. Jengjeng. Makin gentarlah gue. Apalagi saat ngelihat ada empat kali sesi small group. Itu artinya, ditambah sesi PA, gue akan lima kali bertemu dengan rekan-rekan satu kelompok.
Mules. Pusing. Gak bisa tidur. Di malam itu, setelah tiba di Jambuluwuk, gue beneran gak bisa tidur membayangkan hari esok gue akan memimpin PA. Beruntungnya sih, sebelum tidur para pemimpin PA dikumpulkan untuk briefing bahan sebentar. Lumayan buat memantapkan persiapan pribadi. Walaupun tetap jiper, apalagi setelah melihat pemimpin PA rata-rata udah alumni yang cukup tua dan staff Perkantas. Jengjeng. Apalah adek ini yang hanya serpihan bumbu tahu bulat....
Hari yang dinanti pun tiba.
78 Buol bukan nomor patas AC jurusan terbaru. Kelompok PA gue ada di nomor 78 dengan nama Buol. Buol adalah sebuah suku di Sulawesi Tengah. Jadi uniknya kelompok PA di KNM dinamai dengan nama suku-suku di Indonesia. Pagi itu di sesi eksposisi setiap peserta diarahkan untuk duduk dengan kelompok PA nya masing-masing. Satu per satu datang dan akhirnya berkumpullah Ani, Duan, Kak Agnes, Remi, Selda, dan Ery.
Kami semua dari wilayah yang berbeda, umur yang berbeda, dan pelayanan yang berbeda. Ani dari Lombok, Duan dari Pontianak, Kak Agnes dari Toraja, Remi dari Bali tapi asli Nias, Selda dari Jakarta tapi dulu kuliah di Medan, dan Ery dari NTT.
Gentar. Lagi-lagi kata itu keluar. Setelah berkenalan, gue baru sadar mereka ini hebat-hebat sekali. Apalagi Kak Agnes yang umurnya cukup jauh dari kami. Mungkin harusnya dia yang mimpin PA. Tapi kenapa Tuhan pakai gue? Gimana kalau gue salah menyampaikan? Gimana kalau mereka gak menikmati PA? Gimana kalau mereka tidak menikmati kesehatian di kelompok?
Terlalu banyak kekhawatiran.
Pada akhirnya Tuhan menegur gue. Bukan kemampuan gue yang bisa menjamin mereka menangkap isi PA nya. Bukan kehebatan gue yang menjamin mereka akan sehati. Bukan, bukan gue. Itu hanya kasih karunia Allah. Kegentaran ini membuat gue terlalu takut dan menyepelekan kebesaran Tuhan. Sore itu sebelum memimpin PA, gue kembali berdoa. Memohon ampun atas keragu-raguan gue dan mengundang Roh Kudus untuk bekerja.
Pertemuan demi pertemuan berlangsung. Gue menikmati setiap sesinya. Ah, kasih Tuhan terlalu indah. Kami berbagi kisah dan pokok doa. Gue belajar banyak hal dari mereka. Salah satunya adalah: segala kesusahan yang gue rasakan di pelayanan mahasiswa di kampus gue mungkin gak sesulit yang mereka alami. Gue belajar untuk bersyukur bahwa Allah menyertai pelayanan mereka. Sekaligus pula gue belajar untuk setia dan militan dari mereka. Di hari terakhir setelah pengutusan, gue sempat bertemu dengan Ani. Momen mengharukan, karena gue gak tau kapan akan bertemu dengan Ani dan yang lain lagi. Tapi biarlah Allah tetap mempersatukan kami.
Episode dua berakhir di sini. Ini pelajaran berharga yang gak gue dapet dari sesi sih. Intinya gue balajar untuk selalu mengandalkan Allah, dalam apapun yang gue lakukan. To God be the glory!
Comments
Post a Comment