Mempermasalahkan Kontroversi
Jangan
pernah remehkan kekuatan media. Belum lama ini kita dihebohkan dengan kejadian
razia sebuah warteg di Serang. Kejadian ini mengundang banyak reaksi dari pra
netizen. Mulai dari yang merasa kasihan terhadap Saeni, sang pemilik warteg,
hingga yang menghujatnya karena tetap membuka warung di bulan puasa.
Saeni
memang telah mendapat himbauan dari Pemda untuk tidak membuka warungnya di
siang hari. Namun ternyata ia hanyalah wanita sederhana yang tidak bisa
membaca. Reaksi netizen pun sama beragamnya. Ada yang menyesalkan mengapa tidak
ada yang mengingatkan Saeni, ada pula yang menyalahkan Pemda karena Perda yang
dinilai tidak berpihak untuk warganya yang tidak berpuasa.
Di
balik berbagai alasan dari kedua belah pihak, Saeni maupun Pemda, dan juga
ditambah dengan komentar netizen, ada suatu masalah yang lebih esensial yang
masih belum bisa kita atasi. Masyarakat di tengah arus komunikasi yang deras
karena mudahnya akses internet, cenderung mudah menghakimi salah satu pihak
tanpa melihat duduk perkaranya dengan jernih. Akibatnya, masyarakat mudah
tersulut oleh perbedaan pendapat dan celakanya lagi selalu membawa perdebatan
ke ranah isu agama.
Tidak
bisa dipungkiri, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan enam agama yang
diakui negara, membuat banyak perbedaan pendapat antar golongan. Memang hal
tersebut tidak menjadi pembenaran perselisihan yang terjadi. Namun inilah yang
terjadi. Kita sering tidak siap menghadapi perbedaan pendapat.
Kelompok
mayoritas menyuruh kelompok minoritas mengikuti suara terbanyak. Sebaliknya,
kelompok minoritas juga seringkali tidak menggunakan cara yang anggun dalam
mengemukakan pendapat. Terus menerus terjadi demikian hingga konflik melebar.
Celakanya, lagi-lagi, isu menyerang ranah agama.
Kita
perlu mengkaji lagi bagaimana mengajak masyarakat berpikir jernih dalam
menghadapi perbedaan pendapat. Sudah hampir bisa dipastikan, setiap kali ada
hari besar keagamaan, isu keagamaan selalu naik. Di bulan Ramadan kali ini isu
Saeni yang santer terdengar. Di setiap perayaan Natal, isu yang biasa naik
adalah larangan pemasangan atribut berbau ‘natal’ di mall pusat perbelanjaan.
Mau sampai kapan suasana perayaan umat dengan Tuhan selalu diwarnai isu yang
berujung pada kecurigaan dan sentimen antar golongan?
Konsep
Bhineka Tunggal Ika mungkin masih hanya sekadar semboyan cantik yang dipajang
di muka kelas sewaktu kita duduk di bangku sekolah. Tanpa benar-benar menyadari
bahwa semboyan itu harus kita aplikasikan. Bukan hanya sekadar memaklumi
perbedaan, melainkan dengan penuh kedewasaan menghormati keberadaan perbedaan
dan menjaga kesatuan sebagai satu tubuh Indonesia.
Masalah
razia warteg milik Saeni pun melebar. Datanglah seorang netizen yang menggalang
dana untuk membantu Saeni setelah merugi karena dagangannya dirazia. Respon
masyarakat? Ada yang mencibir dan tak sedikit juga yang memuji. Masyarakat
terbagi dalam dua kutub yang bertolak belakang. Hanya saja, jangan sampai dua
kutub ini terus menerus bertolak hingga membuat gaya tarik dan tolak sama besar
dan resultan gayanya nol. Negara stagnan karena mengurus hal-hal remeh ini.
Comments
Post a Comment