Review Drakor Because This Is My First Life: Cerita Ringan Dibalut Isu Menarik
Suatu hari gue pernah menemukan sebuah kutipan di media sosial: "Semua akan drakor pada waktunya". Pada saat itu gue segera mengiyakan, setuju terhadap kutipan tersebut. Waktu itu gue memang gak mengikuti satupun drakor. Sebab gue tau, ketika gue udah suka, gue ga akan mudah berhenti. Inilah yang menyebabkan kecanduan.
Lalu tibalah musim covid-19 yang menyebabkan kita semua harus lebih banyak di rumah. Kegiatan apa yang bisa dilakukan sambil rebahan? Nonton Netflix pastinya. Gue tadinya cuma nonton Hospital Playlist dan Prison Playbook hasil rekomendasi teman. Eh, lama-lama keterusan sampai nonton Reply 1988 juga. Setelah semuanya selesai ditonton, hidup gue terasa hampa, terutama setelah Reply 1988. Akhirnya gue cari-cari lagi drama berikutnya.
Perjalanan mencari drakor yang bagus (menurut gue) cukup susah. Menurut gue, Reply 1988 terlalu bagus banget banget banget. Jadi ketika baru menonton satu episode sebuah drakor, gue langsung mikir, "yah, ini mah ga ada apa-apanya dibandingkan Reply 1988". Setelah mencoba beberapa judul, gue akhirnya menyerah. Gue harus menurunkan ekspektasi. Maka, gue mulai menonton Because This Is My First Life.
Premis BTMFL sebenarnya seperti drakor lain yang mustahil terjadi di dunia nyata. Berkisah tentang mbak-mbak penulis skenario (tokoh bernama Yoon Ji Ho) yang ga punya uang untuk kontrak rumah dan baru kehilangan pekerjaan. Di satu sisi ada mas-mas (yang bernama Nam Se Hee) yang kerja di IT start up baru saja kehilangan roommate dan butuh penyewa baru untuk tinggal di rumahnya demi mengirit cicilan KPR. Semesta bekerja. Mereka kemudian tinggal satu rumah dan terpaksa menikah demi mencari solusi atas masalah kehidupan.
Sounds cheesy, right?
Namun yang membuat gue tertarik sama drama ini adalah semua masalah yang timbul di kehidupan mereka datang dari sosial kultural. Diceritakan bahwa Yoon Ji Ho tidak dapat tinggal di rumah yang dibeli orang tuanya karena adik laki-lakinya yang baru menikah tinggal di rumah itu. Ji Ho pekewuh dan terpaksa keluar dari rumah. Saat ditanya temannya, ia menjelaskan bahwa di Korea, apabila orang tua membelikan rumah untuk anaknya maka rumah itu akan jatuh kepada anak laki-laki.
Isu lain yang muncul adalah teman-teman Ji Ho yang punya pandangan berbeda tentang pernikahan. Su Ji yang berprinsip tidak mau menikah dan hanya ingin bersenang-senang dalam hubungan. Sebaliknya, Ho Rang ingin sekali menikah walaupun pacarnya tak kunjung melamar setelah tujuh tahun pacaran. Mereka bertiga punya mimpi masing-masing tentang kehidupan, meski tampaknya mereka justru semakin menjauh dari impian.
Well, sebenarnya gue juga ga terlalu paham dengan budaya Korea. Tetapi banyak hal yang terjadi di drama ini sangat bisa dipahami oleh budaya Indonesia. Ketika perempuan berumur 30 tahun belum menikah, maka lingkungan akan banyak bertanya mengapa belum menikah. Pernikahan terasa sebagai sebuah kewajiban normatif, alih-alih menjadi institusi sakral dimana setiap orang yang menjalaninya harus bebas dari keterpaksaan.
Ada pula kisah perselisihan keluarga Ji Ho dan Se Hee mengenai resepsi pernikahan. Sebagai orangtua, tentu ingin pesta resepsi besar-besaran demi menjaga nama baik keluarga. Di episode yang lain diceritakan bahwa setelah menikah perempuan akan mengalami sindrom "good daughter in law". Ji Ho tampaknya harus tampil sebagai menantu yang baik dan membantu mertuanya dalam sebuah acara keluarga. Familiar sekali bukan?
Tidak hanya masalah budaya dalam keluarga. Se Hee, walaupun bekerja di start up yang berkembang pesat (bahkan menerima suntikan dana investor), tetap mengetatkan pengeluarannya demi rumah impiannya. Ia tidak segan menggunakan bus ke kantor demi mengirit. Bahkan ia sudah memproyeksikan pemasukan dan pengeluarannya sampai nanti ia pensiun. Idaman sekali bukan? Sepertinya Se Hee ini adalah followers-nya Jouska.
Isu-isu ini (dan masih banyak lainnya) tentu saja dibalut dengan adegan romantis namun lucu-menggemaskan khas drakor. Episode demi episode diceritakan dengan apik disertai monolog pemeran utama yang sarat makna. Beberapa hal memang terasa tidak masuk akal. Seperti bagaimana dunia terasa sempit sekali ketika Se Hee bertemu mantannya yang ternyata adalah bos baru Ji Ho. Namun bukankah drama memang seharusnya sesederhana itu?
Ji Ho yang seorang penulis skenario juga sepertinya cepat sekali mengubur mimpinya. Ia tidak pernah tampak sering menulis, membaca, bahkan menonton drama (yang seharusnya ia lakukan untuk riset karena ia adalah penulis drama!). Selain itu, yang paling mengganggu adalah semua orang di drama ini tampaknya tidak punya banyak barang untuk dibawa pindahan. Hanya satu koper saja.
Ah, dasar gue pecinta detail. Tapi tidak apa, karena tontonan ini memang dikemas ringan. Cocok bagi kalangan usia 20an akhir yang sudah mulai khawatir akan pernikahan dan cicilan KPR. Alias kalau mau punya apartemen bagus kayak Se Hee, kerja dan nabung, jangan ngopi mulu! Ah, seandainya gue punya landlord setampan Nam Se-Hee~
Comments
Post a Comment