Semua Gara-gara Dilan!

Kemarin, gue dan beberapa teman kantor iseng berwacana ingin menonton film Dilan. Sore hari karena hujan, gue pikir wacana ini hanya akan berakhir wacana. Nyatanya, hujan reda dan akhirnya kami berangkat nonton Dilan. 

Gue sebelumnya belum pernah baca novel Dilan. Saking kurang update-nya, gue juga gak berusaha mencari tahu tentang kisah cinta anak SMA ini. Begitu film ini akan difilmkan dan pemeran Dilan alias Iqbaal diprotes para pembacanya, gue tetap belum peduli. Lagipula, gue emang gak suka novel ber-genre cecintaan. Cerita anak SMA pula! Cuma sekadar selera pribadi, sih. Bahwa gue ini sering merasa cinta di dunia nyata tak semudah di dunia fiksi.

Artinya gue "mengkhianati" idealisme gue sendiri, dong, ketika menonton Dilan?

Jawabannya, ya dan tidak. Sesudah film ini, gue masih tetap dengan idealisme gue menganggap bahwa segala sesuatunya terlalu manis untuk terjadi. Namun sekaligus gue sadar, kita mungkin dulu juga senaif Milea dan Dilan. Di umur gue yang menuju seperempat abad ini (yah, ketahuan tua), gue semakin menyadari bahwa cinta bukan sekadar kata-kata indah, tetapi way far beyond it. Di sisi lain mungkin sederhananya kisah cinta anak SMA perlu kita pelajari, di tengah banyaknya tuntutan dalam hubungan berkedok cinta.

Film ini sebaiknya ditonton tanpa ekspektasi. Jalan ceritanya ringan, nyaris tanpa konflik yang berarti. But, hey, what kind of problem we face at high school, sih? Maka, dalam hal ini film Dilan sangat realistis. Mengenai teknis, ada beberapa scene yang kurang apik pengambilannya. Oh, tentu juga ada efek animasi ala sinetron ketika Milea dan ibunya Dilan di mobil. Itu cukup mengganggu, sih, karena scene-nya cukup panjang. 

In short, sebagai orang yang gak ngerti siapa Dilan dan Milea, gue cukup terhibur, lah. Apalagi setelah dilihat-lihat si Iqbaal cukup merepresentasikan dedek emesh yang membuat gue ingin lebih muda delapan tahun. Walaupun setelah film ini berakhir, gue merasa agak overdosis gombalan. Kalau orang-orang merasa ingin kembali nostalgia jaman SMA, maka gue sih tetep gak ingin bernostalgia. Lagi-lagi karena gue sangat realistis dan menyadari bahwa hidup ini bukan urusan digombalin pria charming, melainkan juga urusan cicilan KPR. 

Comments

Popular posts from this blog

Nehemia 4: Belajar Menghadapi Tantangan

Mengawali Cerita Kuliner: Soto Seger Hj. Fatimah Boyolali

Sharing Ringkasan Buku: Gods at War (Bab 3)