Perfect(?)

Sebagai penyuka lagu-lagu sekuler yang mainstream, gue cukup menyukai One Direction. Iya. Gue Directioners. Bukan fans garis keras yang nangis-nangis waktu Zayn Malik keluar sih, tapi cukup suka sampai gue hapal sebagian besar lagu mereka. Sebenarnya tulisan kali ini juga bukan tentang One Direction, sih. Tulisan ini bercerita tentang perenungan gue ketika di Commuter Line sambil mendengarkan radio.

Pagi ini, Prambors memutarkan lagu Perfect-nya One Direction. "Wah, favorit gue nih!", kata gue dalam hati. Sekali lagi sebagai penikmat lagu sekuler, gue gak terlalu perhatikan liriknya. For the first time in forever, gue memperhatikan liriknya:

But if you like causing trouble up in hotel rooms
And if you like having secret little rendezvous
If you like to do the things you know that we shouldn’t do
Then baby, I'm perfect
Baby, I'm perfect for you
And if you like midnight driving with the windows down
And if you like going places we can’t even pronounce
If you like to do whatever you've been dreaming about
Then baby, you're perfect
Baby, you're perfect
So let's start right now




Eh.

Kok ada yang aneh ya? Ketika lirik ini dibawa ke dalam dunia nyata, apakah kriteria demikian yang kita cari dalam pasangan hidup kita? Orang yang bisa membuat kita bersenang-senang saja kah? Gue tidak sedang mengkritik si pembuat lagu ini sih. Ngapain juga gue kritik, suka-suka si One Direction lah mau bikin lagu apa. Tapi yang gue jadikan bahan perenungan adalah: mungkinkah kita (atau gue) sudah menantikan pasangan hidup yang tepat menurut perspektif yang benar?

Dalam Konferensi Pengutusan (24/07) yang gue ikuti kemarin, Bang Alex sempat membicarakan mengenai pasangan hidup. Intinya, pasangan hidup kita adalah partner kita dalam mengerjakan misi Allah. Temukanlah apa panggilan dalam pasanganmu, dan jadilah rekan untuk bersama-sama mengerjakannya. Hidup bukanlah tentangmu atau pasanganmu. Hidup adalah tentang Allah.

Jleb.


Ah, seberapa sering sih gue terjatuh dalam bagian-bagian dimana gue mementingkan diri gue sendiri dalam penantian pasangan hidup? Seringkali gue yang menjadi pusat segalanya. Gue bersyukur, Allah selalu mengingatkan gue ketika gue mulai salah arah. Apa yang gue dengarkan kemarin memang sungguh menjadi catatan khusus dalam diri gue. Pasangan hidup yang sempurna bukanlah sekadar orang yang bisa diajak ke tempat-tempat romantis yang kita inginkan, jalan-jalan sambil menikmati pemandangan, atau gila-gilaan bareng. Ketika ia bisa melakukan itu semua bersama kita, itu baik. Namun yang paling utama: Apakah melalui relasi tersebut, kita semakin efektif di dalam mengerjakan misi Allah?


Comments

Popular posts from this blog

Nehemia 4: Belajar Menghadapi Tantangan

Mengawali Cerita Kuliner: Soto Seger Hj. Fatimah Boyolali

Sharing Ringkasan Buku: Gods at War (Bab 3)